Selalu datang kabar yang menarik dari Vatikan – pusat Gereja Katolik semesta – di akhir bulan Ramadhan. Di penghujung bulan yang suci itu, Tahta Suci melalui Badan Kepausan bagi Dialog Antar-Iman menyampaikan salam dan pesan Idul Fitrinya bagi umat Muslim seluruh dunia dalam sebuah surat terbuka. Dalam tiga tahun terakhir ini, pesan utama surat terbuka ini dilatar-belakangi oleh keprihatinan yang sama: eskalasi konflik antar umat Kristen dan Muslim yang berujung pada banyak tragedi. Pada perayaan Idul Fitri 1433 H ini, Tahta Suci mengusung pesan agar diciptakan pendidikan keadilan dan perdamaian bagi orang muda, baik Kristen maupun Muslim. Saya bertanya-tanya dalam hati: dapat relevankah bagi saudari-saudara Muslim Indonesia, pesan ini yang, tidak hanya datang dari orang beriman lain, tetapi juga dari latar ‘Barat’ yang memiliki definisi dan sejarah (kelam) sendiri mengenai ‘keadilan dan perdamaian’?
Narasi Riil bagi Keadilan dan Perdamaian
Sebagai seorang muda beriman Katolik di negeri dengan mayoritas penduduk Muslim, saya mengalami bahwa pendidikan ‘keadilan dan perdamaian’ itu jauh lebih dulu saya ketahui dari tetangga saya daripada dari Jean-Francis Kardinal Tauran, sang penulis pesan tahunan ini. Tanpa bermaksud mengecilkan Kardinal Tauran, saya mengalami lezatnya perdamaian dari Ayuk Sa’idah yang selalu mengirim ketupat lengkap untuk keluarga kami tiap lebaran dan harumnya keadilan dari bonus tiga tusuk sate padang dari Uda Ahmad di depan sekolah saya dulu. Ketupat dan sate padang untuk analogi bagi konsep perdamaian dan keadilan dari Vatikan? Terlalu dekat dengan perut-kah pernyataan saya ini? Ya, bahkan mungkin teralu ‘keduniawian’!
Saya memang hendak menunjukkan bahwa, (1) ‘perdamaian dan keadilan’ bukanlah konsep abstrak dengan pengertian tunggal saja dan (2) konsep ini memang harus berurusan dengan perut, dengan hal yang sering diklaim oleh kelompok agamawan yang hidup dalam paham dualis sebagai ‘duniawi’. Pendidikan ‘perdamaian dan keadilan’ bagi orang muda – baik Kristen maupun Muslim – mestinya tidak dimulai dari narasi-narasi metafisik yang datang dari teori melulu. Pendidikan yang menentukan karakter ini mestinya mulai dari keterbukaan pada narasi riil akan makna adil dan damai yang bertaburan di antara kita. Orang muda saat ini lelah dengan teori yang mereka telah hapalkan sejak mulai dapat membaca. Mereka merindukan pengalaman damai yang terselip dalam senyuman orang beriman lain yang memberi salam di depan pintu kita dan yang tetap mengampuni walau gereja mereka dibakar. Mereka rindu mengalami narasi riil tentang keadilan yang terlihat secara karitatif saat memberi derma pada fakir miskin atau secara struktural turut dalam demonstrasi melawan perusahaan pencemar lingkungan hidup.
Perjumpaan dengan konsep riil perdamaian dan keadilan inilah yang mestinya dipikirkan, digagas dan diwujudkan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia – apalagi di tengah formalisme agama dan makin tebalnya sekat sosial akibat ketidak-merataan hasil pembangunan. (Alm.) Rm. Mangunwijaya pernah melontarkan ide untuk membubarkan Seminari Menengah – sekolah tempat para calon pastor dididik. Seminari dinilainya mengasingkan orang dari masyarakatnya, dari mereka yang mesti dilayaninya. Tembok-tembok seminari menjadi suaka dari realitas kemiskinan yang merajalela dan korupsi yang menggurita, sehingga mereka yang di dalamnya seolah tinggal dalam goa platonis. Kritik Rm. Mangun ini ada mungkin ada benarnya. Beliau seolah hendak mengatakan: pendidikan perdamaian dan keadilan hanya terwujud bila orang punya pengalaman dasar bahwa dunia bisa menjadi lebih baik lewat apa yang saya lakukan bersama mereka yang lain iman, suku dan rasnya.
Persentuhan dengan narasi riil ini mestinya juga didukung dengan fondasi teologis yang juga berakar pada soal-soal dunia, pada soal-soal orang hari ini! Salah satu keprihatinan saya atas tayangan religius yang marak di televisi saat bulan Ramadhan yang lalu adalah maraknya ide bahwa kemenangan di penghujung Ramadhan hanya bersifat rohani-individualistis yang kelak cukup diganjar dengan surga beragam-warna. Padahal, saya sangat meyakini bahwa Idul Fitri tidak berhenti pada level personal saja, tetapi menjadi ‘spiritualitas’ – ‘roh atau semangat yang menggerakkan orang dari dalam’ – untuk bertindak nyata menciptakan tata sosial yang lebih baik, yang sesuai dengan fitrahnya.
Transendensi Menuju Fitrah Sosial yang Bhinneka
Salah satu fondasi teologis yang kuat untuk digunakan sebagai dasar dalam pendidikan keadilan dan perdamaian ini justru terletak secara istimewa pada makna Idul Fitri sendiri. Baik umat Kristen dan Muslim meyakini bahwa manusia diciptakan dalam fitrah, dalam keadaan yang suci dan baik – sebuah keadaan yang mencerminkan sifat sang Pencipta sendiri. Itu sebabnya, mereka seharusnya bersama-sama berjuang demi kemanusiaan yang telah disucikan oleh sang Khalik sendiri.
Kesucian ini tidak hanya harus menyentuh level personal, tetapi juga sosial. Di Indonesia lebih-lebih, soal kesucian dalam tata sosial ini pertama-tama berkutat pada soal pengakuan dan penerimaan kehadiran liyan. Tata sosial yang adil dan damai memerlukan kemampuan transendensi diri – kemampuan mengatasi batas-batas diri sebagaimana diteladankan dengan amat mulia oleh saudari-saudara Muslim ketika berpuasa. Kemampuan ini membuat orang mampu meletakkan diri pada posisi orang lain – dan sungguh ‘lain’ karena perbedaan iman, latar belakang dan suku – dalam empati dan solidaritas.
Bhinneka bukan alasan untuk tak mengenali sucinya Pencipta dalam mereka yang beriman lain dan mereka yang masih harus berpikir untuk mendapat tambahan seribu rupiah demi lauk anak-istrinya. Setelah momen Idul Fitri yang penuh sukacita dan kebersamaan ini, baiklah kita mengambil ruang hening untuk bertanya: masihkah kita mau berjuang untuk kebenaran dan kebebasan yang membuat orang lain makin dihargai sebagai pribadi yang diciptakan Allah?
Dunia akan terus berputar dan – tentu saja – liburan agung ini akan usai. Waktu jugalah yang menantang kita pada akhirnya untuk tetap menyematkan kemenangan sebagai ciptaan yang bermartabat mulia dengan tindakan nyata di tengah masyarakat yang plural. Pendidikan bagi keadilan dan perdamaian? Ah, engkau dan saya tahu sekali bahwa ada begitu banyak kesempatan untuk mencapai fitrah kita, setiap hari. Tentu saja, seperti ditulis Kardinal Tauran dalam pesan terbukanya tahun ini, semua ideal ini membutuhkan keteguhan, kesabaran dan banyak sekali rahmat Allah untuk dapat direalisasikan! Selamat Hari Raya Idul Fitri, teman!
Albertus Joni, SCJ